Virtual Reality, Antara Terapi dan Ancaman bagi Kesehatan Mental

8 Min Read

Oleh: Sigit Hariyadi

Dosen Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Unnes

 

MENGUTIP  kembali Lingkungan kehidupan , “Masa hidup manusia didefinisikan sebagai pengalaman kehidupan dari waktu lahir hingga waktu mati.” Pernyataan itu semakin relevan untuk realitas virtual modern, di mana banyak negara, termasuk Indonesia, diajak untuk hidup berdampingan. Dari game, ruang metaverse, dan terapi Virtual Reality (VR) berbasis realitas, dunia digital yang menjadi jenis kedua dari kehidupan manusia itu sendiri. Di masa lalu, teknologi ini hanya bisa dilihat dalam adegan fiksi dan sekarang bergema di ruang keluarga, di sekolah, dan bahkan di rumah sakit.

WHO dalam laporannya bersama Kementerian Kesehatan RI mengkonfirmasi gejolak signifikan penggunaan teknologi kekinian dalam memantau kesehatan jiwa sejak 2020 dan percepatan cara baru dalam penangan kasus-kasus serupa. Perawatan psikologis tidak lagi menjadi terlarang atau terbatas hanya di ruang tertutup dengan psikolog atau pelaku profesional kesehatan mental, akan tetapi juga di dunia maya. Perubahab memicu aktivitas baru, sehingga orang harus mengambil headset untuk menggunakannya dan mulai simulasi. Namun, apakah kita dapat menggunakan VR untuk pemulihan psikologis manusia atau apakah kita meruntuhkannya menjadi jurang tantangan mental yang sama sekali baru adalah pertanyaan yang lebih penting.

Ledakan Kesehatan Mental dan Harapan Digital

Krisis kesehatan mental di Indonesia menjadi “alarm sosial” yang meraung. Menurut data Kementerian Kesehatan pada 2023, sekitar 20 persen penduduk 54 juta orang mengalami gangguan mental emosional. Salah satu dari tiga remaja saat ini berjuang psikologis, dan 2,45 juta di antaranya menerima diagnosis gangguan mental pada tahun lalu. Angka bunuh diri juga “meledak”: sepanjang Januari–Oktober 2024, mencapai 1.023 kasus, sebagian besar di antaranya adalah generasi muda dan usia produktif.

Pandemi Covid 19 silam tak luput dari memperburuk situasi yang ada. Isolasi sosial, tekanan akademik, “gaya hidup penuh digital” seakan topeng pandemi terlempar lebih cepat menuju stres, kecemasan, dan depresi. Namun di situasi seperti itu, teknologi VR memberikan harapan baru. Ini tidak hanya memberikan “terapi”, tetapi juga “pengalaman” yang lebih interaktif, mendalam, dan adaptif bagi generasi muda “digital”. Di seluruh dunia, VR juga dilibatkan dalam terapi dari berbagai gangguan: kecemasan, PTSD, depresi, hingga fobia sosial. Pasien “berhadapan” dengan ketakutannya dalam konfirmasi simulasi, tetapi cermin, di bawah bimbingan spesialis. Menurut studi literatur pada 2023, efektivitas pemulihan melalui VR “membidik” melonjak 30 persen lebih tinggi daripada terapi konvensional.

Potensi di Indonesia: Terapi dan Psikoedukasi Interaktif

Beberapa rumah sakit di Indonesia mulai menyusuri langkah yang sama. Rumah Sakit Akademik UGM, misalnya, menggunakan VR untuk membantu merelaksasi tenaga medis dan pasien anak. Di klinik tertentu, esensi VR juga digunakan untuk rehabilitasi pasca-stroke, latihan keseimbangan, dan terapi kecemasan .

Kedua VR dapat membuka peluang pengembangan psikoedukasi yang interaktik, menarik dan empatik. VR dan AI tidak dipungkiri mampu menciptakan situasi yang cukup realistis memaksa pengguna untuk  sesaat mereka merasakan keprihatinan seorang korban, bergulat dengan emosi dan merasakan kompleksitas dari situasi yang memicu kesehatan mental baik secara positif maupun negatif. Hal tersebut dilakukan untuk pengguna mampu melihat secara dalam akan pengetahuan, dan juga kepribadian yang terkunci dan tidak terkunci dalam dirinya.

Pihak yang berkepentingan dalam pengembangan VR telah menemukan bahwa gagasan bahwa VR akan mampu menjadi jempatan antara kepentingan personal dalam tujuan rekreasi dan edukasi, sekaligas menjadi pendekatan terapi yang emosional berbasi pengalaman. Perkembangan ini menjadi inovasi dan peluang besar dalam peningkatan kesejahteraan psikologis masyarakat.

Sisi Gelap Dunia Virtual

Namun, di balik semua potensi itu, dunia virtual memiliki sisi gelap atau masalah yang sangat signifikan. Penggunaan VR yang tidak terkontrol juga dapat mengembangkan risiko psikososial yang bervariasi, dari adiksi hingga hilangnya kontak dengan realitas. Setelah waktu yang lama, beberapa pengguna, terutama remaja, mengalami ketidakmampuan dalam membedakan yang sungguh-sungguh dari yang maya.

Masalah adiksi virtual juga berkembang pesat, terdapat banyak laporan mengecam menurunnya kualitas dan keterlibatan belajar, gangguan kualitas tidur, dan isolasi sosial karena ketertarikan jangka panjang. Di samping itu, dalam metaverese dan platform game seperti “Roblox” tidak luput dari situasi perundungan digital, penindasan verbal, dan eksploitasi identitas, yang mungkin mengarah ke generasi traumatis baru.

Risiko terbesar lainnya yang semakin meningkat adalah pelanggaran privasi. Perangkat VR modern dilengkapi dengan kemampuan perekam wajah, gerakan, dan respons emosional. Data kompilasi psikologis tersebut sangat tidak stabil dari organisasi; kala melanggar privasi mereka, praktik-praktik ini bisa terlempar ke papan yang sangat sulit. Paradoxically, teknologi yang sangat dikembangkan digunakan untuk memahami manusia bisa jadi instrumen pengendalian perilaku yang instan.

Tantangan Etis dan Kesiapan Sosial

Inilah dilema ganda yang dihadapi Indonesia. Negara memerlukan inovasi untuk memperluas akses layanan kesehatan mental, tetapi pada saat yang sama sulit menangkap inovasi yang belum memiliki kesiapan etis dan regulatif. Literasi digital penggunanya masih tertinggal, begitu juga pemahaman masyarakat akan batas penggunaan teknologi yang aman secara psikologis.

Keterlibatan profesional kesehatan juga terbatas. Banyak pengguna yang mencoba-coba aplikasi tersebut tidak lebih dari alat “self-healing” dengan tujuan untuk relaksasi, tanpa arahan ahli. Dalam kasus tersebut, teknologi munculkan reaksi emosional yang kompleks tanpa bimbingan, efek tersebut bisa berubah menjadi rasa disorientasi atau memperparah bentuk stres. Dan inilah kunci penting bagi kolaborasi lintas sektor. Psikolog, konselor, produsen, desainer, pengembang, peneliti, pendidik, dan pakar kebijakan perlu bersatu mengatur panduan etik, sistem perlindungan data, dan program literasi digital yang sesuai. Dunia virtual tidak boleh menjadi tanpa batas, tanpa hukum dan tanpa hati nurani.

Menjaga Kemanusiaan di Dunia Virtual

Seperti semua teknologi, Virtual Reality adalah pedang bermata dua. Ia dapat menjadi yang akan menyembuhkan kita, tetapi juga bisa menjadi yang akan membuat kita hilang. Apakah kita berada di masa depan kesehatan mental adalah pada bagaimana kita mengelola batas antara teknologi dan kemanusiaan. Terapi virtual bukanlah sebagai ganti untuk terapis perawat langsung (tatap muka luring) tetapi harus mereka adalah pelengkap. Kelebihan digital harus digabungkan dengan empati, refleksi dan etika yang bertanggung jawab baik pribadi maupun sosial. Karena, jika tidak, kita sebagai bagian dari pengguna berisiko menjadikan pemandangan yang sempurna di dunia online tapi memiliki kedapatan diri yang tak nyata atau topeng semata.

Teknologi, akhirnya, tidak bersifat netral. Sebaliknya, ini berkembang dengan nilai penggunanya. Jadi tugas kita bersama termasuk penguna, pengembangan dan pelaku profesional kesehatan mental untuk tidak membiarkan arus berubah secara pasif dengan membiarkan dunia maya beralih menjadi tempat melarikan diri atau pelarian semata. Melainkan, kita harus membuat peluang digital ini menjadi sarana penting menjaga kemanusiaan sebagai terapi terbaik. darkorchid-curlew-947014.hostingersite.com-st

 

0
Share This Article
Privacy Preferences
When you visit our website, it may store information through your browser from specific services, usually in form of cookies. Here you can change your privacy preferences. Please note that blocking some types of cookies may impact your experience on our website and the services we offer.