SEMARANG (darkorchid-curlew-947014.hostingersite.com) — AutoFace adalah sistem skrining dini Autism Spectrum Disorder (ASD) berbasis machine learning yang mampu menganalisis risiko hanya dari satu foto wajah dalam 3–5 detik, kini memasuki babak baru bukan lagi sekadar proof of concept, melainkan produk hilirisasi yang siap berdampak nasional.
Hal ini mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “AutoFace: Sistem Klasifikasi ASD Menggunakan Citra Wajah Berbasis Machine Learning”, yang digelar di Rumah Autis Tembalang, Semarang, pada 28 November 2025.
Kegiatan menghadirkan Tim pemilik produk dari Universitas Semarang yang dipimpin Dr Ir Andi Kurniawan Nugroho ST MT IPM beranggotakan ahli psikolog Prof. Dr. Hardani Widhiastuti, M.M. dan Dr. Shinta Pratiwi, S.Psi., M.A.
Selain itu didukung pakar tata kelola dan keberlanjutan Dr. Ardiani Ika Sulistyawati, S.E., M.M dan sebagai bagian dari program strategis Dorongan Teknologi 2025, dengan pengawalan ketat dari Tim Pakar Dorongan Teknologi Kementerian Pendidikan, Tinggi Saint, dan Teknologi, yang dipimpin oleh Dr. Ir. Rismayani, S.Kom., M.T dari Universitas Dipa Makassar.
Dr. Rismayani mengatakan, keberhasilan hilirisasi riset tidak lagi cukup ditopang oleh keunggulan teknis semata.
”Kita butuh kolaborasi holistik teknis, regulasi, pasar, dan finansial dalam satu kesatuan utuh. Hanya dengan sinergi ini, produk seperti AutoFace dapat memenuhi standar keamanan, keberlanjutan, dan keterterimaan di lapangan,” ujarnya.
Tim Pakar yang hadir terdiri atas para ahli multidimensi: Ir. Muhammad Faisal, S.Si., M.T., Ph.D., IPM (Pakar Infrastruktur Digital), Mursyal Setiawan, S.M. (Pakar Pasar), Ikhsan Setiawan, S.H. (Pakar Regulasi & Advokat), serta Abas R., S.E. (Pakar Keuangan & Bisnis).
Menurut Rismayani, dari sisi teknis, AutoFace tetap mengandalkan arsitektur deep learning VGG19 yang telah dilatih ulang dengan 2.936 citra wajah anak menghasilkan akurasi 93,8% dan recall 94,2%, namun kini diperkuat dengan pendekatan Explainable AI melalui LIME, sehingga setiap prediksi disertai heatmap visual yang menunjukkan kontribusi wilayah wajah: eye region (90–95%), mouth area (80–85%), nose region (70–75%), dan geometri wajah secara keseluruhan.
Namun, Ir. Muhammad Faisal mengingatkan bahwa tanpa infrastruktur digital yang kuat seperti konektivitas andal, komputasi edge, dan keamanan siber riset sebagus ini akan terhenti di tahap prototipe.
”Visi kami adalah memastikan AutoFace deployable, aman, dan berkelanjutan. Di tengah potensi besar tersebut, perlindungan data pribadi khususnya data anak menjadi sorotan utama,” ujarnya.
Ikhsan Setiawan, S.H., yang juga berprofesi sebagai advokat, menyampaikan dengan tegas, perlindungan data pribadi anak memerlukan perhatian serius, agar privasi tidak dilanggar dan regulasi seperti UU PDP serta Permenkes terkait rekam medis tetap dipatuhi.
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya skema kerja sama yang jelas antara peneliti dan pelaku usaha. “Perlu ada agreement yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak mulai dari kepemilikan data, lisensi teknologi, hingga tanggung jawab hukum agar konflik di kemudian hari dapat dihindari.”
Dia menambahkan, seluruh perizinan baik dari sisi kesehatan (izin alat kesehatan), digital (sertifikasi PSE), maupun HKI (paten, merek) harus dipenuhi sejak dini.
Tak kalah penting adalah strategi pasar. Mursyal Setiawan, S.M menyatakan, penetapan segmentasi yang tepat adalah kunci keberhasilan.
”Apakah sasarannya rumah sakit rujukan, klinik tumbuh kembang, psikolog mandiri, puskesmas, atau langsung ke orang tua? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan strategi harga, distribusi, dan edukasi pengguna,” katanya.
Dia menilai, AutoFace memiliki nilai tambah besar, tetapi potensinya akan mekar optimal bila disertai model bisnis yang jelas seperti licensing, subscription, atau pay-per-scan yang memungkinkan fasilitas kesehatan memprediksi biaya dan mengambil keputusan dengan lebih yakin.
”Dan jangan lupakan aspek non-teknis seperti SOP sederhana, pelatihan operator, serta pendampingan dalam memastikan kualitas foto di lapangan. Akurasi sistem sangat bergantung pada input jika foto buram atau pencahayaan buruk, hasilnya pun akan terganggu,” tuturnya.
Dari sisi keberlanjutan finansial, Abas R., S.E mengatakan, fase pengembangan selanjutnya wajib mencakup perencanaan bisnis yang matang: estimasi CAPEX (pengembangan infrastruktur, lisensi, sertifikasi), OPEX (pemeliharaan, pelatihan, dukungan teknis), proyeksi pendapatan, serta skema revenue sharing antara akademisi, developer, dan mitra implementasi.
”Tanpa perencanaan ini, inovasi hebat bisa gagal di pasar bukan karena tidak dibutuhkan, tapi karena tidak bankable,” tandasnya.
Tak lupa, para praktisi lapangan Sondang Intan Sihombing, S.Pd. (Pengelola Rumah Autis Tembalang) dan Ms.
Tri Wahyuni Timur Wati (Terapis ) menyambut AutoFace sebagai pintu masuk yang selama ini dinanti: alat yang memperpendek antrean diagnosis dan mempercepat akses intervensi di usia emas. Namun mereka juga mengingatkan teknologi ini adalah alat bantu skrining, bukan pengganti diagnosis klinis atau observasi komprehensif oleh psikolog.
Menurut Dr Andi, AutoFace hadir bukan hanya sebagai produk teknologi melainkan sebagai ekosistem inovasi yang utuh akurat, transparan, regulasi-compliant, berkelanjutan, dan siap mengabdi bagi jutaan anak Indonesia. St
0



