Oleh: Gunoto Saparie
Di sebuah auditorium yang bernama RRI Semarang, Sabtu itu, tanggal 18 Oktober 2025, suara-suara mengalir seperti air. Tetapi tak ada riuh debat, tak ada benturan gagasan yang menegangkan udara.
Setiawan Hendra Kelana (atau yang lebih sering dipanggil Iwan) terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Tengah periode 2025–2030.
Kata “aklamasi” itu sendiri seperti menandai semacam kelegaan kolektif: sebuah penerimaan tanpa perlu persaingan, sebuah kesepakatan yang lahir tanpa perpecahan.
Mungkin di situ kita menemukan semacam keheningan yang jarang.
Sebab politik organisasi, termasuk di dunia wartawan, sering kali adalah panggung kecil dari demokrasi yang gaduh. Tetapi hari itu, ketika pesaingnya, Imam Nuryanto, memutuskan mundur sebelum pemilihan dimulai, suasana justru menjadi cair, teduh.
Seperti mata air yang menemukan alirannya sendiri. Iwan berdiri di tengah dukungan penuh dari 277 pemilik suara sah, dari 366 yang tercatat. Di wajah-wajah mereka, barangkali ada harapan yang sederhana: agar PWI Jawa Tengah kembali menjadi rumah.
Rumah, kata yang tampak sederhana tapi kini semakin sulit ditemui artinya. Dalam arus teknologi informasi yang cepat, dalam kilatan layar yang setiap detik menelan peristiwa, rumah bagi wartawan bukan hanya ruang fisik, tetapi tempat untuk kembali merenung, menimbang, menulis dengan hati yang masih hangat oleh nurani.
Iwan barangkali memahami itu.
Ia datang dari rahim jurnalisme yang tumbuh di tengah perubahan: ketika kertas mulai digantikan layar, dan kata-kata berpindah ke jejaring yang tak mengenal jeda. Di bawah kepemimpinannya, PWI Jawa Tengah menghadapi tugas yang tak mudah, bagaimana menjaga martabat wartawan di tengah banjir informasi yang nyaris menenggelamkan makna berita itu sendiri.
Di masa kini, siapa pun bisa menulis, menyebarkan, menafsirkan, bahkan memutarbalikkan. “Viral” telah menggantikan “benar” sebagai ukuran nilai. “Cepat” telah menyingkirkan “tepat.” Dan di antara hiruk-pikuk itu, wartawan sering berdiri gamang. Apakah ia masih sang penjaga kebenaran, atau sekadar pengantar kabar yang harus berlomba dengan algoritma?
Iwan, dengan wajahnya yang tenang, mungkin akan membawa PWI ke jalan yang sunyi itu: jalan ke dalam, ke jantung profesi yang sering terlupa: etika, integritas, dan tanggung jawab. Sebab sesungguhnya, teknologi hanyalah alat. Ia tak punya nurani, tak punya empati. Tetapi wartawan, jika masih menyimpan keyakinan pada kemanusiaan, akan selalu menjadi penjaga nyala kecil di tengah gelapnya kebisingan.
Namun, di sisi lain, kita juga tahu tantangan baru itu tak bisa dihindari. Dunia digital bukan sekadar bayangan masa depan; ia sudah menelan masa kini. Maka, PWI Jawa Tengah perlu menjadi jembatan, antara generasi yang masih mencium aroma tinta dengan generasi yang hidup dari detak notifikasi. Pendidikan jurnalistik harus bergeser: dari sekadar mengajarkan piramida terbalik menuju kemampuan memahami data, membaca algoritma, dan menimbang etika di dunia maya yang cair.
Kita bisa membayangkan, di bawah Iwan, organisasi ini membuka ruang bagi pelatihan-pelatihan literasi digital, fact-checking, hingga jurnalisme data. Sebab, dalam arus informasi yang deras, wartawan yang bertahan bukanlah yang paling cepat, melainkan yang paling jernih. Yang mampu memilah antara kabar dan kebisingan, antara fakta dan fantasi.
Tentu, harapan seperti itu tak mudah diwujudkan. Setiap organisasi punya bayangan panjang dari masa lalunya: kebiasaan birokrasi, politik kecil, bahkan rasa lelah yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tapi mungkin Iwan tahu, bahwa setiap pembaruan dimulai dari kesadaran untuk tidak terjebak dalam bayangan itu.
Ia bisa mengubah PWI bukan sekadar menjadi lembaga formal dengan rapat dan piagam, melainkan menjadi komunitas intelektual, tempat para wartawan saling mengasah pikiran dan empati, bukan hanya saling bersaing mengejar perhatian publik.
Di situlah makna aklamasi tadi menemukan bentuk lain. Ia bukan hanya penanda kemenangan tanpa lawan, tapi kepercayaan tanpa syarat. Sesuatu yang langka di dunia yang kian terpecah oleh opini dan kepentingan.
Aklamasi itu, jika dibaca dengan hati yang tenang, adalah isyarat bahwa organisasi ini ingin bersatu, ingin berjalan bersama, ingin kembali berpegang pada cita-cita awal: membela kebenaran, bukan kepentingan.
Namun, ada pula sisi yang harus dijaga: bahwa kesatuan jangan menjelma keseragaman. Bahwa harmoni jangan menelan kritik. Sebab, dalam sejarahnya, jurnalisme tumbuh justru dari keberanian mempertanyakan. Dari suara-suara kecil yang berani menentang arus besar. Dalam kepemimpinan Iwan nanti, semoga PWI tidak menjadi ruang yang terlalu nyaman, tetapi ruang yang cukup gelisah, sebab dari kegelisahanlah pikiran tumbuh.
Teknologi akan terus berubah. Artificial intelligence akan menulis berita lebih cepat dari manusia. Media sosial akan terus menciptakan ledakan informasi. Tetapi di tengah itu semua, masih ada yang tak tergantikan: hati manusia yang menulis. Hati yang tahu kapan harus diam, kapan harus bertanya, kapan harus menolak tunduk pada arus besar.
Iwan mungkin tak akan mampu mengubah dunia digital yang deras itu. Tetapi mungkin ia bisa menjaga agar wartawan tidak kehilangan arah. Agar di antara derasnya arus, mereka masih tahu dari mana datangnya kata-kata, dan untuk siapa kata-kata itu ditulis.
Dalam arti itu, PWI Jawa Tengah sedang memulai bab baru. Sebuah bab yang menuntut keberanian berpikir ulang tentang jurnalisme di zaman layar. Di mana berita bukan lagi sekadar peristiwa, tapi juga persepsi; di mana kebenaran harus diperjuangkan di antara miliaran narasi yang berserakan di udara.
Kita pun tahu, setiap bab baru selalu dimulai dengan sebuah kalimat pertama. Mungkin kalimat itu hari ini berbunyi: “Iwan terpilih secara aklamasi.” Tetapi di balik kalimat sederhana itu, tersimpan banyak kemungkinan.
Malam nanti, mungkin Iwan akan duduk sendirian, menatap layar laptopnya yang menyala redup. Di luar, Semarang mungkin masih lembap oleh hujan yang baru berhenti. Ia tahu, jalan di depan panjang dan tak mudah. Tetapi seperti wartawan yang setia pada kalimat pertamanya, ia akan terus menulis, barangkali dengan keyakinan yang sama: bahwa kata-kata masih bisa menuntun kita menemukan makna, di tengah dunia yang semakin terburu-buru melupakan.
Di situ, di antara kilatan layar dan bayang-bayang cahaya, kita kembali belajar sesuatu yang sederhana, bahwa di tengah perubahan besar, yang paling berharga tetaplah kesetiaan pada nurani.
*Gunoto Saparie adalah mantan pengurus PWI Jawa Tengah.
0



