SEMARANG (darkorchid-curlew-947014.hostingersite.com) – Di sebuah bangunan tua bergaya kolonial di kawasan Kota Lama Semarang, suasana terasa berbeda. Bukan denting piano atau alunan gitar yang terdengar, melainkan suara-suara unik yang lahir dari alat-alat sederhana yang diubah menjadi medium ekspresi.
Itulah yang tersaji dalam Sem(b)arang Sound Art Exhibition di Monod Diephuis, Jumat (22/8/2025), sebuah pameran seni yang mengajak pengunjung “mendengar Semarang” dengan cara yang tak biasa.
Anggota Komisi VII DPR RI, Samuel JD Wattimena, yang hadir dalam kesempatan itu, tampak antusias mencoba sejumlah instalasi bunyi yang dipamerkan.
Ia menilai, ruang-ruang alternatif semacam ini penting diberikan oleh pemerintah daerah agar seniman bisa berkembang.
“Kalau ada ruang bagi para seniman, pasti akan lahir banyak seniman baru. Seperti di sini, kan unik, tapi belum banyak orang tahu. Ini perlu terus diberi dukungan,” ucapnya.
Pameran ini memang berbeda dari pameran seni kebanyakan. Alih-alih hanya menatap karya visual, pengunjung justru diajak berinteraksi dengan instalasi yang menghasilkan suara.
“Setiap orang boleh mencoba alat yang sudah dibuat, lalu mendengar suara yang dihasilkan. Itu memberi dampak dan ekspresi diri yang berbeda,” kata Samuel, sembari mengapresiasi kreativitas para seniman muda.
Bahkan, ia memberikan tantangan khusus bagi penyelenggara.“Kalau bisa menemukan suara spesifik Semarang, itu akan luar biasa. Seperti kalau kita pergi ke pantai ada suara ombak, ke gunung ada suara angin. Kalau Semarang punya bunyi khas yang bisa direkam, itu akan jadi identitas yang istimewa,” ujarnya.
Sementara itu, Galuh, salah satu panitia pameran, menjelaskan bahwa Sem(b)arang Sound Art Exhibition lahir dari semangat pengarsipan bunyi.
“Kami berangkat dari komunitas berbasis bunyi dan riset. Salah satu fokusnya pengarsipan, agar suara-suara yang kita kenal hari ini tetap bisa didengar di masa depan,” tuturnya.
Ia mencontohkan, perkembangan teknologi bisa membuat bunyi-bunyi sehari-hari hilang.
“Mungkin nanti suara motor sudah tidak terdengar lagi karena motor terbang. Mobil pun bisa jadi begitu. Bahkan suara orang menyapu bisa hilang karena sudah digantikan robot. Karena itu, kami mencoba merekamnya, lalu menciptakan alat musik dari bunyi-bunyi itu,” jelasnya.
Pameran yang digelar pada 20–24 Agustus 2025 ini menjadi ruang refleksi yang unik. Di balik suara-suara sederhana—dari gesekan, ketukan, hingga rekaman suasana kota—tersimpan ingatan kolektif masyarakat yang barangkali kelak hanya bisa dikenang lewat arsip.
Di Kota Lama yang sarat sejarah, bunyi-bunyian itu seakan mengikat masa lalu, masa kini, dan masa depan Semarang dalam harmoni yang tidak kasatmata, tapi dapat dirasakan telinga dan hati. St
0



