Pulanglah Fosil, Pulanglah Ingatan

6 Min Read
Gunoto Saparie

Oleh: Gunoto Saparie

Ada sebuah perjalanan panjang yang tak hanya melibatkan kerangka manusia purba, tetapi juga kerangka ingatan. Puluhan ribu fosil yang selama lebih dari seabad tersimpan di Leiden, kini diberangkatkan pulang ke tanah yang pernah ditinggalkannya.

Di antara koleksi itu ada potongan sejarah paling masyhur dari antropologi: fragmen tengkorak, tulang paha, dan gigi yang oleh Eugène Dubois di akhir abad ke-19 disebut sebagai Pithecanthropus erectus, atau yang kemudian dikenal dunia sebagai Java Man.

Mungkin yang lebih penting dari fosil itu bukanlah tulangnya, melainkan narasinya. Sebab repatriasi ini bukan semata tentang benda mati yang berpindah tempat, tetapi tentang siapa yang berhak menyusun cerita.

Dubois seorang dokter militer Belanda yang pada 1887 berlayar ke Hindia Belanda dengan misi pribadi: mencari “mata rantai yang hilang” antara kera dan manusia. Ia menemukan fragmen-fragmen itu di Trinil, Bengawan Solo. Tapi sejak saat itu, kepemilikan berpindah secara sunyi: yang ditemukan di tanah Jawa dibawa ke Eropa, yang lahir dari tanah jajahan menjadi koleksi imperium.
Ada ironi di sana: tubuh purba manusia Jawa tak pernah sempat disemayamkan di Jawa. Ia diasingkan.

Seperti tubuh-tubuh lain dari negeri terjajah yang dipamerkan di museum Barat. Dengan nama ilmu pengetahuan, warisan itu diabadikan—tapi juga dipisahkan dari akarnya.

Sejarawan Sartono Kartodirdjo pernah menulis, kolonialisme bukan hanya soal penguasaan ekonomi atau politik, melainkan juga “proses panjang penyingkiran kesadaran bangsa terjajah dari sejarahnya sendiri.” Maka kepulangan fosil Dubois juga berarti upaya merebut kembali kesadaran itu.
Ketika pemerintah mengumumkan kepulangan fosil Dubois, berita itu terdengar seperti sebuah perayaan.

Sebuah “tonggak sejarah” disebut-sebut. Dan memang demikian. Tetapi kita tahu, repatriasi tak pernah sekadar soal benda, ia juga soal relasi kuasa.

Yang kembali ke Indonesia bukan hanya fosil yang rapuh itu, tetapi juga sebentuk pengakuan: bahwa yang pernah diambil, kini dikembalikan. Bahwa ada sesuatu yang sejak awal bukan milik mereka.

Sejarah kolonial kita penuh dengan perpindahan benda. Keris, prasasti, arca, naskah kuno. Sebagian masih tersimpan di Belanda, sebagian tercecer di museum-museum Eropa lain. Mereka menyebutnya “koleksi”. Kita menyebutnya “warisan”.

Di titik ini, bahasa pun mengandung ideologi: koleksi menandakan kepemilikan, warisan menandakan hak asal-usul.

Tetapi kepulangan ini juga menimbulkan pertanyaan. Apakah kita, setelah lebih dari seratus tahun, siap menjaga yang pulang?

Museum kita, sebagaimana banyak hal lain, kerap luput dari perhatian. Fosil-fosil yang sepenting ini memerlukan perawatan khusus, ruang ber-AC dengan kelembapan tertentu, pengawasan konservator yang terlatih.

Tak jarang kita mendengar arsip yang rusak dimakan jamur, prasasti yang dibiarkan berlumut, atau naskah kuno yang hilang entah ke mana.

Sejarah yang pulang akan sia-sia bila tak disambut dengan kesanggupan untuk merawat. Warisan budaya tak cukup hanya dibanggakan sebagai simbol identitas; ia menuntut tanggung jawab yang panjang.

Namun, ada sesuatu yang tak kalah penting dari perawatan benda: perawatan ingatan. Fosil Dubois bukan sekadar fragmen tulang, ia adalah fragmen narasi manusia. Tentang bagaimana Jawa pernah menjadi pusat kajian dunia. Tentang bagaimana kolonialisme memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk menguasai. Tentang bagaimana kita, hari ini, harus menulis ulang kisah yang lebih adil.

Antropolog Koentjaraningrat pernah mengatakan bahwa kebudayaan adalah “keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat.” Dengan demikian, fosil yang kembali bukan hanya artefak ilmiah, melainkan bagian dari kebudayaan: ia membawa gagasan tentang siapa kita, dari mana kita, dan bagaimana kita ingin dipahami.

Di Belanda, koleksi Dubois dipelajari oleh para ilmuwan, ditulis dalam jurnal, diseminarkan di universitas. Di sini, sering kali kita lupa bahwa tubuh purba itu bagian dari tanah kita sendiri. Apakah kepulangan fosil ini akan membangkitkan rasa ingin tahu baru? Ataukah ia akan berakhir sebagai benda yang dipajang sunyi, dikunjungi sebentar, lalu dilupakan?

Mungkin repatriasi ini lebih mirip pulangnya seorang perantau yang lama hilang. Kita gembira menyambutnya, tetapi juga canggung: harus bicara apa, harus memperlakukannya bagaimana.

Ia membawa kenangan masa lalu yang tidak sederhana, tentang penjajahan, tentang ilmu pengetahuan, tentang kehilangan.

Di sinilah repatriasi berubah menjadi momentum refleksi. Kita diingatkan bahwa kebudayaan bukan hanya milik benda, tetapi juga milik tafsir. Bahwa kepulangan fosil Dubois seharusnya juga berarti kepulangan hak kita untuk bercerita.

Fosil manusia Jawa adalah saksi bisu, tapi dari keheningannya kita bisa membaca sesuatu: bahwa sejarah bukanlah garis lurus yang tenang. Ia penuh pergulatan, perebutan, dan penafsiran. Ia menunggu siapa yang akan menuliskan ulang.

Kini, ketika tubuh purba itu kembali, mungkin inilah saatnya kita mengajukan pertanyaan yang lebih dalam: bukan lagi “siapa pemiliknya”, melainkan “apa arti kehadirannya bagi kita hari ini.”

Sebab, pada akhirnya, repatriasi bukan hanya perjalanan pulang sebuah fosil. Ia adalah perjalanan pulang sebuah kesadaran: bahwa sejarah kita tak pernah tuntas, bahwa warisan kita bukan hanya benda mati, dan bahwa ingatan kolektif kita masih menunggu untuk dirawat.

Dan mungkin, dalam senyap fosil yang kini dipamerkan di tanahnya sendiri, kita bisa mendengar sesuatu: sebuah bisikan dari masa yang sangat jauh, mengingatkan kita bahwa yang disebut “manusia” selalu hidup dengan ingatan, bukan hanya dengan tulang-belulangnya.

*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah. darkorchid-curlew-947014.hostingersite.com-St

0
Share This Article
Privacy Preferences
When you visit our website, it may store information through your browser from specific services, usually in form of cookies. Here you can change your privacy preferences. Please note that blocking some types of cookies may impact your experience on our website and the services we offer.