Potret Kemanusiaan di Tengah Gunungan Sampah Jatibarang

4 Min Read
Komunitas Ameraaa Universitas Semarang (USM) baru-baru ini menggelar kegiatan hunting bertema “Human Interest” di kawasan TPA Jatibarang Semarang. Foto:dok

Komunitas Ameraaa USM Temukan Cerita yang Tak Terlihat di TPA Jatibarang

SEMARANG (darkorchid-curlew-947014.hostingersite.com) – Di antara suara bising alat berat, aroma menyengat sampah yang menguar, dan langkah-langkah para pemulung yang tak pernah benar-benar berhenti, sekelompok anak muda berjalan pelan menyusuri lorong-lorong sempit TPA Jatibarang, Semarang.

Mereka bukan petugas, bukan pula pengunjung biasa. Mereka adalah para pemburu – bukan momen glamor, melainkan kisah-kisah manusia yang kerap luput dari pandangan.

Komunitas Ameraaa Universitas Semarang (USM) baru-baru ini menggelar kegiatan hunting bertema Human Interest” di kawasan TPA terbesar di Kota Semarang itu. Mengandalkan kamera ponsel yang mereka genggam, belasan peserta—anggota komunitas dan mahasiswa yang tertarik mengasah kemampuan fotografi mobile—mencoba menangkap denyut hidup yang tersembunyi di balik tumpukan sampah kota.

Merekam, Bukan Sekadar Memotret

Aditya Pradita, Ketua Komunitas Ameraaa, menyebut kegiatan ini bukan hanya soal teknik fotografi. “Kami ingin anggota memahami bahwa tiap jepretan punya jiwa. Karya yang baik lahir dari kepekaan, bukan dari perangkat yang mahal,” ujarnya.

Ameraaa sendiri merupakan komunitas fotografi berbasis kamera ponsel yang dibentuk oleh mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi USM. Melalui pendekatan visual dan naratif, mereka berupaya menciptakan karya yang tak sekadar indah, tetapi juga bermakna.

Dengan langkah yang hati-hati namun penuh antusias, peserta bergerak dari satu titik ke titik lain. Ada yang mengabadikan punggung pekerja yang bersimbah peluh, ada yang menyorot tangan-tangan terampil memisahkan plastik dari besi tua, ada pula yang menangkap wajah-wajah yang memendam letih sekaligus harapan.

Bertemu Para Penjaga Sunyi: Sayko dan Guntur

Pada satu sisi lapangan, dua sosok menarik perhatian para peserta: Sayko dan Guntur. Keduanya adalah pekerja lapangan yang setiap hari beraktivitas di TPA.

Melalui sesi wawancara singkat namun mendalam, peserta mendengar langsung kisah mereka—tentang kerasnya lingkungan kerja, tentang kebutuhan yang harus dipenuhi, tentang kehidupan yang tetap berjalan meski bertumpu pada sampah yang dibuang orang lain.

Aktivitas di Tempat Penampungan Sampah (TPA) Jatibarang Semarang. Foto:dok

“Informasi ini menjadi penguat narasi dalam karya foto yang dihasilkan,” kata Aditya. Setiap cerita yang terungkap menjadi lapisan baru yang memperkaya makna di balik visual yang ditangkap.

Belajar Kemanusiaan dari Pusat Sampah Kota

Jatibarang bukan sekadar tempat pembuangan akhir. Di sana, kehidupan berlangsung dengan ritme yang berbeda. Pekerja memilah sampah di tengah panas terik. Alat berat bergerak tanpa henti. Petugas Dinas Lingkungan Hidup mengatur operasional harian agar kota tetap bersih. Dan masyarakat sekitar bertahan hidup dari apa yang bagi orang lain dianggap tak berguna.

Para peserta Ameraaa menyaksikan semua itu secara langsung. Mereka melihat senyum yang tetap terbit meski penuh debu.
Mereka mendengar tawa kecil di tengah beban berat. Mereka memotret tangan-tangan yang bekerja demi keluarga yang menunggu di rumah.

“Kegiatan di TPA Jatibarang memberi pengalaman lapangan yang berharga. Peserta bisa melihat realitas sosial secara langsung, bukan dari cerita atau teori,” ujar Aditya.

Mengasah Mata, Mengasah Hati

Meski hanya menggunakan kamera ponsel, setiap peserta pulang dengan memori yang jauh lebih besar dari sekadar file foto—yakni pemahaman baru tentang hidup.

“Fotografi bukan hanya soal gambar. Ini tentang mengajak kita memahami cerita, memahami manusia,” tegas Aditya.

Dan di Jatibarang, mereka menemukan bahwa setiap sudut punya kisah, setiap sosok punya beban dan harapan, dan setiap jepretan bisa menjadi jembatan bagi orang lain untuk melihat realitas yang selama ini tersembunyi.

Kegiatan hunting itu mungkin hanya berlangsung sehari. Tetapi jejaknya—dalam bentuk foto, narasi, dan pengalaman emosional—akan menetap jauh lebih lama dalam diri para peserta. Sebab di balik tumpukan sampah, mereka menemukan kemanusiaan yang tak pernah benar-benar hilang. Sunarto

0
Share This Article
Privacy Preferences
When you visit our website, it may store information through your browser from specific services, usually in form of cookies. Here you can change your privacy preferences. Please note that blocking some types of cookies may impact your experience on our website and the services we offer.