Oleh : Nur Khoirin YD
SETIAP tanggal 10 November bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan secara Nasional untuk mengingat kembali pertempuran arek-arek Suroboyo melawan tentara sekutu yang ingin kembali menjajah Indonesia.
Pertempuran sengit yang dikomandoi oleh Bung Tomo itu meletus pada tanggal 10 November 1945 yang mengakibatkan sebanyak 20 ribu tentara santri menjadi korban syahid dan 150 ribu lainnya terpaksa meninggalkan kota Surabaya.
Sebaliknya, dari pihak Inggris, sebanyak 1.600 prajurit tewas, hilang, dan luka-luka serta puluhan alat perangnya rusak dan hancur. Kita membayangkan seandainya tidak ada perlawanan dari arek-arek Suroboyo yang menentang penjajahan kembali Pemerintah Sipil Hindia Belanda (Netherlands-Indies Civil Administration/NICA), sejarah kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, mungkin akan berbeda ceritanya.
Satu Paket
Sampai hari ini ternyata tidak banyak orang yang tahu bahwa semangat juang dan patriotisme arek-arek Suroboyo tersebut lahir dari semangat jihad yang digelorakan oleh kaum santri melalui resolusi jihad.
Sejarah mencatat, pertempuran 10 November 1945 yang sangat heroik itu tidak akan pernah ada tanpa ada Resolusi Jihad yang diprakarsai oleh para kiai dan kaum santri. Resolusi Jihad yang dikumandangkannya oleh Mbah Kiai Hasyim Asy’ari di Kampung Bubutan Surabaya pada tanggal 22 Oktober 1945 itulah yang membangkitkan rasa nasionalisme, cinta tanah air, dan memompakan gelora jihad, melawan tentara sekutu.
Berkat resolusi jihad, selang hanya beberapa hari bersatu kekuatan santri menyatu dengan tentara, dan pecahlah pertempuran 10 November.
Dari fakta sejarah ini, maka sebenarnya Hari Santri dan Hari Pahlawan adalah satu paket yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Penetapan hari Pahlawan pada tanggal 10 November tak lepas dari tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.
Santri memiliki peran besar dalam berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan serta menjaga keutuhan NKRI. Hari santri dan Hari pahlawan tidak bisa dipisahkan, keduanya memiliki hubungan yang kuat dan menjadi satu kesatuan paket dalam sejarah.
Satu paket Hari Pahlawan dan Hari Santri itu memiliki makna, yaitu semangat kebangsaan dan semangat keagamaan yang menjadi modal dasar perjuangan yang harus selalu dikembangkan.
Keduanya tidak boleh dibanding-bandingkan, apalagi dihadap-hadapkan, sehingga saling mencari menang atau saling menyalahkan.
Jasa-jasa santri yang sangat besar, baik dalam merebut maupun mempertahankan kemerdekaan itu selama puluhan tahun dilupakan dan bahkan dipendam oleh sejarah yang dibengkokkan.
Banyak pihak yang sengaja mendistorsi sejarah santri atau alergi. Tetapi yang benar pasti akan nampak. Emas pasti akan nampak di antara onggokan besi-besi tua.
Meskipun terlambat, akhirnya pemerintah menyadari dan kemudian memberikan penghargaan kepada jasa-jasa pahlawan santri, Presiden secara resmi menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional melalui Keppres No.22 Tahun 2015. Lembaga pesantren juga diakui dengan dibentuknya Undang-undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren, meskipun implementasinya masih jauh dari harapan.
Santri Pahlawan
Puluhan ribu santri yang mati syahid dalam peristiwa 10 November di Surabaya adalah pahlawan. Mereka bukan tentara bayaran. Ketika itu jumlah tentara resmi masih sangat sedikit, dengan gaji yang kecil, dan senjata yang sederhana.
Pasti secara nalar tidak mampu melawan kekuatan sekutu dengan persenjataan lengkap dan modern. Tetapi para santri memiliki senjata yang ampuh, semangat jihat dari dalam diri yang merah membara. Mereka berjuang tanpa pamrih, kecuali niat tulus membela kehormatan bangsa negara dan agama yang terancam.
Doktrin hubbul wathon minal iman (cinta tanah air bagian dari iman) yang terus dikumandangkan oleh para kiai mampu menggerakkan semangat jihad mengusir penjajah. Hanya santri yang memiliki semboyan yang terus dikumandangkan dalam pujian-pujian, NKRI harga mati.
Pahlawan adalah mereka yang berjuang, tetapi tidak pernah berfikir akan disebut sebagai pahlawan. Puluhan ribu santri yang gugur syahid dalam pertempuran 10 November di Surabaya itu, jangankan disematkan tanda jasa dan penghargaan, nama-nama merekapun tidak dikenali, makamnya dimana juga tidak diketahui. Inilah pahlawan sejati.
Berjuang dengan niat suci, hanya berharap ridla Ilahi. Jika berhasil menang akan terpuji, jika terbunuh lawan dan mati, dia meyakini bahwa akan tetap hidup di Sisi Allah dan diberi rizqi.
Pahlawan itu tidak pernah mati, karena jasa-jasanya selalu dikenang dihati. Kita saksikan sampai hari ini makam para pahlawan, terutama para kiai wali tidak pernah sepi diziarahi. Orang yang sudah mati tetapi justru bisa menghidupi.
Kotak amal di makam-makam para wali dan pahlawan sejati, tiap tahun menghasilkan milyaran rupiah yang bisa diperhgunakan untuk pemberdayaan ekonomi umat. Bisnis masyarakat disekitar makam juga bergerak mendapatkan berkah yang melimpah.
Belum lagi perusahan catering, restoran, souvnir, dan perusahaan transpostasi, agar kebutuhan para peziarah terpenuhi. Maka benarlah apa yang dijanjikan Allah swt : “Dan jangan sekali-kali engkau menyangka (bahwa) orang-orang yang terbunuh (gugur syahid) pada jalan Allah itu mati, (mereka tidak mati) bahkan mereka adalah hidup (secara istimewa) di sisi Tuhan mereka, dengan mendapat rezeki.” (QS. Ali Imran: 3:169).
Wajib menjadi Pahlawan
Peringatan hari pahlawan dan santri ini penting. Selain untuk menghormati dan mendoakan jasa-jasa para pahlawan, yang terpenting adalah untuk meneladani jiwa kepahlawanan. Cari utama pahlawan adalah berjuang tanpa pamrih.
Berjuang bukan karena upah, bukan ingin disanjung, bukan membangun citra supaya dipilih, dan bukan karena ingin mendapat tanda jasa. Tetapi ikhlas karena panggilan jiwa, tulus lillahi ta’ala, untuk mendapat ridla dari Allah swt.
Jiwa pehlawan adalah selalu resah melihat kemungkaran dan ketidakadilan. Tidur tidak nyenyak, makan tidak enak, jika melihat tetangganya miskin kurang makan dan tidak bisa bersekolah karena tidak memiliki biaya.
Bangsa memang sudah merdeka. Penjajah secara fisik juga sudah tidak ada. Sekarang tidak diperlukan perang secara fisik dengan mengangkat senjata. Tetapi musuh kita yang menghadang tidak akan pernah hilang.
Musuh kita adalah kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan, kekafiran, dan keterbelakangan. Ini adalah musuh bersama yang harus kita perangi dengan jiwa pahlawan.
Kita tidak perlu bercita-cita menjadi pahlawan untuk sekedar berharap tanda jasa dan pujian. Tetapi kita harus tampil ambil bagian di depan untuk mengatasi musuh dan tantangan.
Setiap zaman ada musuh dan tantangan. Maka jadilah pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa sesuai kompetensi dan potensi. Menjadi pahlawan pendidikan untuk memberantas kebodohan, jadilah pahlawan usaha/wiraswasta untuk menggerakkan ekonomi mengentaskan kemiskinan, jadilah pahlawan keadilan untuk melenyapkan kezaliman dan ketidakadilan, dan jadilah pahlawan apa saja rela berjuang untuk menebarkan kebajikan dan menolak kemungkaran.
Prof. DR. H. Nur Khoirin YD., MAg, Ketua BP4 Propinsi Jawa Tengah/Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo/Advokat/Mediator/Arbiter Syari’ah. Tinggal di Jl. Tugulapangan H.40 Tambakaji Ngaliyan Kota Semarang. darkorchid-curlew-947014.hostingersite.com-St
0



