
SEMARANG (darkorchid-curlew-947014.hostingersite.com) – Saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat dan lampu-lampu Simpang Lima perlahan menyala, denyut jantung Kota Semarang bersiap memasuki akhir pekan yang berbeda dari biasanya. Pada Jumat dan Sabtu, 7–8 November 2025, pusat kota akan berubah menjadi panggung megah bagi sebuah perayaan budaya bertaraf nasional — Festival Wayang Semesta Volume 1.
Dengan mengusung tema “Semarang Semakin Hebat, Wayang Semakin Mendunia”, festival ini bukan sekadar pesta hiburan, melainkan wujud nyata komitmen Pemerintah Kota Semarang untuk menjaga warisan leluhur yang telah diakui UNESCO sebagai warisan tak benda dunia.
Lapangan Simpang Lima yang biasanya dipenuhi kendaraan dan aktivitas warga, akan disulap menjadi ruang magis tempat tradisi dan teknologi bersatu. Gemerlap layar digital berpadu dengan bayang-bayang tokoh pewayangan — menandai babak baru perjalanan seni klasik dalam wajah modern.
Wali Kota Semarang, Agustina Wilujeng, mengatakan bahwa Festival Wayang Semesta hadir untuk menghidupkan kembali semangat budaya sebagai tuntunan hidup.
“Wayang bukan sekadar tontonan, tetapi tuntunan. Melalui festival ini, kami ingin menghadirkan ruang di mana masyarakat bisa menikmati, belajar, dan bangga terhadap budayanya sendiri,” ujarnya penuh keyakinan.
Selama dua malam penyelenggaraan, masyarakat akan disuguhi berbagai kegiatan yang memadukan keunikan tradisi dan daya cipta modern: mulai dari pagelaran wayang kontemporer dan klasik, Parade Budaya, Wayang Cilik, hingga Pasar UMKM yang menampilkan ragam produk kriya, fesyen, dan kuliner khas Semarang.
Ada pula zona Wayang Experience, tempat pengunjung bisa langsung terlibat dalam aktivitas budaya — membatik, mengukir, atau mewarnai topeng wayang. Di sanalah tawa anak-anak berpadu dengan aroma cat dan bunyi gamelan, menciptakan pengalaman yang hidup dan membekas.
Hari pertama akan dibuka dengan parade budaya dan tari kolosal, diikuti sambutan Wali Kota serta peluncuran Patung Bima dan Srikandi, simbol kekuatan dan keteladanan yang diangkat dari kisah epos Mahabharata. Malam harinya, panggung utama akan menyala dengan pertunjukan spektakuler berjudul “Pambuko: Awal Semesta dari Akar Tradisi Agung”, yang memadukan wayang orang, musik tradisi, dan teknologi digital — menghadirkan perpaduan antara masa lalu dan masa depan.
Puncak festival akan berlangsung pada hari kedua. Ribuan anak akan tampil dalam Wayang Cilik, simbol regenerasi pelaku seni yang memastikan bahwa kisah wayang tak berhenti di generasi ini. Sebuah momen haru juga akan hadir saat kelompok legendaris Ngesti Pandawa menerima penghargaan Lifetime Achievement dari Pemerintah Kota Semarang atas dedikasinya menjaga api pewayangan tetap menyala di tengah arus modernitas.
Acara akan ditutup dengan Pagelaran Lintas Wayang “Ekspresi: Wayang Masa Kini”, kolaborasi lintas kota dan lintas generasi yang menegaskan bahwa tradisi tak pernah ketinggalan zaman — ia hanya berevolusi.
Bagi Agustina, festival ini bukan hanya bentuk penghormatan terhadap budaya, tetapi juga motor penggerak ekonomi kreatif.
“Saat kita menghidupkan panggung tradisi seperti ini, kita juga menghidupkan peluang ekonomi bagi pelaku seni, UMKM, dan generasi muda kreatif. Inilah bukti bahwa budaya dan ekonomi bisa berjalan beriringan,” tegasnya.
Dari bayang-bayang wayang yang menari di layar hingga tawa anak-anak yang mencoba membatik untuk pertama kalinya, Festival Wayang Semesta menjadi ruang di mana masa lalu dan masa depan bersalaman.
Di bawah langit malam Simpang Lima, wayang tak lagi sekadar kisah yang diceritakan di balik kelir — ia hadir, hidup, dan berbicara kepada generasi baru:
bahwa menjaga budaya bukan tentang kembali ke masa lalu, melainkan melangkah ke masa depan dengan akar yang kuat. St



