Dampak Konversi Lahan Konservasi di Semarang: Risiko Bencana dan Tantangan Tata Ruang

8 Min Read

Oleh: Mohammad Agung Ridlo

Konversi lahan kawasan konservasi, pertanian, dan ruang terbuka hijau menjadi permukiman, industri, serta bangunan lainnya di wilayah hulu seperti bagian atas Kota Semarang memicu degradasi lingkungan serius, termasuk berkurangnya resapan air dan peningkatan risiko banjir di wilayah hilir.

Fenomena ini, khususnya di Kecamatan Gunungpati, Mijen, dan Ngaliyan, telah menurunkan luas lahan hijau secara masif, dengan peningkatan lahan terbangun hingga 25-39,5% dalam beberapa tahun terakhir, sehingga menimbulkan defisit daya dukung ekosistem.

Artinya bahwa jika konversi lahan kawasan konservasi, pertanian, dan ruang terbuka hijau berlanjut tanpa pengendalian, maka akan berdampak terhadap wilayah hulu dan hilir, bencana potensial akibat pelanggaran kaidah tata ruang dan status perizinan di RTRW Semarang.

Dampak Umum Konversi Lahan terhadap Wilayah Hulu

Wilayah hulu (perbukitan atau dataran tinggi) di Semarang bagian atas, berfungsi sebagai penyangga ekosistem utama melalui resapan air dan pencegahan erosi. Saat lahan konservasi dan pertanian berubah menjadi permukiman atau industri, vegetasi hilang, menyebabkan tanah kehilangan kemampuan menyerap air hujan hingga 70% lebih rendah dibandingkan hutan alami.

Di Mijen, misalnya, penurunan biokapasitas mencapai 70,5% akibat konversi perkebunan karet menjadi bangunan, yang mempercepat degradasi tanah dan meningkatkan kekeringan lokal. Selain itu, polusi dari industri menurunkan kualitas udara dan kesuburan tanah, memaksa migrasi satwa liar dan mengganggu keseimbangan hidrologi dasar.​

Konversi ini juga memicu longsor di lereng curam wilayah hulu. Hilangnya akar pohon mengurangi kestabilan tanah, sehingga curah hujan tinggi langsung mengikis permukaan, seperti terlihat di Gunungpati di mana lahan hutan turun 55,84% dari 2016-2019.

Dampak ekonomi muncul melalui hilangnya produktivitas pertanian, di mana lahan sawah lestari berkurang 11% atau sekitar 2.200 hektar, membebani petani lokal yang kehilangan mata pencaharian. Secara keseluruhan, wilayah hulu menjadi rentan terhadap kekeringan musiman dan degradasi lahan kritis seluas hingga 249,94 hektar di Gunungpati.​

Dampak terhadap Wilayah Hilir: Banjir dan Genangan

Wilayah hilir, seperti pusat Kota Semarang bagian bawah, bergantung pada hulu sebagai area resapan utama Sub DAS Garang. Konversi lahan mengurangi infiltrasi air, sehingga aliran permukaan meningkat drastis dan menyebabkan banjir rob serta genangan berkepanjangan.

Banjir Januari 2023 yang merendam tujuh kecamatan, termasuk Stasiun Tawang dan Poncol, langsung terkait pembangunan ilegal di atas lahan konservasi hulu, dengan kerugian Rp5,6 miliar dari 10.425 rumah rusak di pesisir. Peningkatan lahan terbangun di Ngaliyan dan Mijen sebesar 28,02 hektar memperburuk debit sungai, memaksa air meluap ke permukiman padat.​

Di hilir, kualitas air menurun karena sedimentasi dari erosi hulu menyumbat saluran drainase. Ini memperparah banjir musiman dan rob pasang, di mana mangrove hilang mempercepat intrusi air laut. Ekosistem pesisir terganggu, mengurangi produksi perikanan dan meningkatkan biaya drainase kota hingga tidak optimal investasi infrastruktur pemerintah.

Penduduk hilir menghadapi risiko kesehatan dari air tercemar, dengan peningkatan penyakit kulit dan pernapasan akibat polusi hiliran.​

Bencana Potensial jika Mengabaikan Kaidah Penataan Ruang

Tanpa mematuhi kaidah tata ruang seperti UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, konversi lahan memicu bencana berantai mulai dari longsor hingga banjir bandang. Di hulu, pelanggaran zona lindung menyebabkan lahan kritis potensial, di mana tanah gundul tak mampu menahan air, memicu longsor.

Hilangnya ruang terbuka hijau mengurangi evaporasi, meningkatkan suhu urban heat island, dan mempercepat banjir kilat di hilir dengan debit air 2-3 kali lipat normal.​

Bencana lain termasuk abrasi pantai di hilir akibat sedimentasi berkurang, yang melemahkan garis pantai Semarang. Kekeringan hulu berdampak kekurangan air baku hilir, sementara longsor menghalangi akses jalan dan infrastruktur.

Jika tidak ada pengawasan, defisit ekologis seperti di Mijen akan meluas, menyebabkan kerugian ekonomi miliaran rupiah per event banjir. Partisipasi masyarakat absen memperburuk, karena pembangunan ilegal tak terdeteksi dini.​

Status RTRW Semarang terhadap Konversi Kawasan Konservasi

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Semarang 2011-2031 secara tegas melarang konversi lahan kawasan konservasi di bagian atas, termasuk Gunungpati, Mijen, dan Ngaliyan, yang ditetapkan sebagai hutan kota lindung dan resapan permanen.

Kawasan ini masuk zona hijau strategis dengan minimal 30% luas kota sebagai ruang terbuka hijau, di mana alih fungsi hanya diizinkan untuk fasilitas umum terbatas dengan AMDAL ketat. Namun, pelanggaran terjadi karena lemahnya pengawasan, meski Perda RTRW No. 16/2011 menetapkan sanksi administratif hingga pidana bagi pelanggar.​

Data menunjukkan peningkatan lahan terbangun meski bertentangan RTRW, seperti 39,5% di Mijen untuk permukiman dan industri. Pemerintah kota kini mendorong RDTR detail untuk memperkuat zona lestari, tapi implementasi lemah akibat tekanan urbanisasi.​

Proyeksi Bencana di Hilir akibat Konversi Bagian Atas

Jika konversi berlanjut di Semarang bagian atas, wilayah hilir seperti Tembalang, Pedurungan, dan pesisir akan mengalami banjir rutin tahunan lebih parah dari 2023. Debit Sungai Garang meningkat 50% tanpa resapan hulu, menyebabkan genangan hingga 7 kecamatan dengan kerugian Rp10 miliar per kejadian.

Longsor hulu menyumbat sungai, memicu banjir bandang hilir, sementara rob pesisir merusak 20.000 rumah akibat hilangnya mangrove.​

Kekeringan hulu akan kurangi pasokan air PDAM hilir hingga 30%, memaksa impor air. Ekosistem rusak permanen, dengan penurunan biodiversitas dan peningkatan penyakit vector-borne. Proyeksi BMKG menunjukkan frekuensi banjir naik 20% per dekade tanpa intervensi.​

Kaitan dengan Fenomena Konversi di Semarang Bagian Atas

Masalah krusial konversi di Gunungpati, Mijen, dan Ngaliyan, di mana lahan konservasi berubah menjadi permukiman dan industri, menurunkan hutan 55,84% dan vegetasi 14,20%. Ini selaras dengan analisis di atas, di mana penurunan biokapasitas 70,5% di Mijen langsung picu banjir 2023 di hilir.

Data luas lahan terbangun naik 25% (2016-2019) mendukung dampak hulu-hilir, termasuk defisit daya dukung dan kerugian Rp5,6 miliar dari rob.​

Perlu adanya area untuk zona vegetasi dan pengawasan teknologi selaras dengan kebutuhan RTRW, mencegah longsor dan banjir seperti di wilayah lain. Partisipasi masyarakat krusial untuk konservasi partisipatif, menghindari tragedi ekologis permanen.​

Solusi Penguatan Kebijakan Tata Ruang
Pemerintah Kota Semarang harus terapkan sanksi tegas terhadap ilegal building, gunakan GIS untuk monitoring real-time lahan kritis. Program reboisasi hulu targetkan 1.000 ha tahunan, sementara insentif pajak lindungi kawasan hijau.

Kolaborasi dengan masyarakat via forum partisipatif cegah konversi, pastikan RTRW 2031 terealisasi penuh.​

Pendidikan lingkungan integrasikan ke kurikulum lokal, dorong eco-village di pinggiran. Dengan langkah ini, Semarang amankan daya dukung untuk generasi mendatang.

Referensi
MangroveTag. (2025). KOTA SEMARANG. https://mangrovetag.com/semarang/​
Sukmawardhono, D., & Nugroho, B. (2020). Perubahan Tutupan Lahan di Sub DAS Beringin Kota Semarang. Proceeding SNIPA. https://proceeding.unnes.ac.id/index.php/snipa/article/download/2356/1844​
Pelestarian Kawasan Konservasi di Kota Semarang. (n.d.).

Repositori Kemdikbud. https://repositori.kemdikbud.go.id/368/1/Pelestarian%20Kawasan%20Konservasi%20di%20Kota%20Semarang.pdf​
BRIN. (2024). Luas Tutupan Lahan Mangrove di Pesisir Semarang Menurun 10 Tahun Terakhir. https://www.brin.go.id/news/124874/luas-tutupan-lahan-mangrove-di-pesisir-semarang-menurun-10-tahun-terakhir​
Jurnal Fakultas Sains dan Arsitektur. (n.d.).

Pengembangan Kawasan Konservasi Heritage di Semarang. https://jurnal.umjambi.ac.id/JFSA/article/download/565/282/1821​
Kesadaran Masyarakat Pesisir Terhadap Degradasi Lahan. (2024). E-Journal IVET. https://e-journal.ivet.ac.id/index.php/envoist/article/download/3432/2348​
Konflik Lingkungan di Bukit Mangunharjo Tembalang. (n.d.). Neliti. https://media.neliti.com/media/publications/160391-ID-konflik-lingkungan-di-bukit-mangunharjo.pdf

Dr. Ir. Mohammad Agung Ridlo, M.T.
Ketua Program Studi S2 Magister Perencanaan Wilayah dan Kota (Planologi) Fakultas Teknik Unissula Semarang.
Sekretaris I Bidang Penataan Kota, Pemberdayaan Masyarakat Urban, Pengembangan Potensi Daerah, dan Pemanfaatan SDA, ICMI Orwil Jawa Tengah.
Ketua Bidang Teknologi Tradisional, Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Provinsi Jawa Tengah. Sekretaris Umum Satupena Jawa Tengah. darkorchid-curlew-947014.hostingersite.com-St

0
Share This Article
Privacy Preferences
When you visit our website, it may store information through your browser from specific services, usually in form of cookies. Here you can change your privacy preferences. Please note that blocking some types of cookies may impact your experience on our website and the services we offer.